
Mengapa kemudian kita tidak khusus, misalnya, melakukan pemberdayaan kekuatan keadilan sosial untuk menanggulangi kesenjangan sosial yang semakin tajam. Sebenarnya seberapa besar kekuatan yang kita miliki punya pengaruh terhadap rasa keadilan sosial orang-perorang. Sayyid Qutub menyatakan bahwa Islam membenci keadaan masyarakat yang terbagi dalam kelompok kaya dan miskin. Di dalam masyarakat seperti itu terkandung rasa sakit hati dan kedengkian yang bisa mengancam keutuhan masyarakat serta merusak jiwa dan hati manusia. Juga tekanan hidup atas orang-orang miskin, bisa mendorong mereka kepada tindakan-tindakan yang haram dan terlarang, misalnya mencuri, merampok, menjual harga diri dan kehormatan, merasa benar sendiri. Tindakan-tindakan semacam ini sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan dimusuhi Islam.
Hadis riwayat Bukhari di atas mengingatkan kita bahwa kebutuhan asal cukup dan kebutuhan asal rakus mendudukkan orang-perorang dalam kondisi ketakwaan yang saling bertentangan. Seorang yang baik juga nampak dalam ketakwaan ketika menghimpun kekayaan. Juga diperhitungkan bagaimana kekayaan itu bisa didapat, dari mana, lalu untuk apa. Sampai pada akhirnya kekayaan itu wajib ”dipertemukan” dengan Allah Azza wa Jalla. Bisakah kekayaan kita dipertanggungjawabkan? Apakah ada kelompok masyarakat yang kita rugikan ketika kita menumpuk kekayaan. Masa-masa ibadah tak akan pernah berakhir. Kesucian menyertai langkah kita dan tindakan-tindakan kita di kantor. Itulah karunia Allah terbesar. Pikiran kita, ucapan kita, dan perilaku kita sehari-harinya mencerminkan keagungan manusia. Kita adalah wakil Tuhan di bumi, sehingga napas keadilan sosial yang kita hembuskan merupakan kewajiban yang utama karena kita seorang mukmin. Subhanallah. (by Danarto, Republika)